Senin, 26 Oktober 2015

Hadist Pekerjaan yang paling baik, Larangan meminta-minta, Mukmin yang kuat mendapat pujian

Hadist, Pekerjaan yang paling baik, Larangan meminta-minta, mukmin yang kuat mendapat pujian


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
“Etos” berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang artinya “watak atau karakter”. Etos kerja dapat di artikan sebagai sikap dan semangat yang ada pada diri individu atau kelompok tentang atau terhadap kerja. Etos kerja menyangkut masalah mentalis orangg, kelompok atau bangsa. Dalam kajian ilmu managemen modern, etos kerja ini menyangkut masalah “sikap” dan “motivasi” disamping lingkungan. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian nilai-nilai atau akhlak yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos kerja tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Rosulullah saw. bersabda :

لَاْنْ يَاْخُذَأَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأ تِيَ بِحُزْمَةِ اْلحَطَبِ عَلَىَ ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكَفَّ اللهُ بِهَا وَخْهَهُ  خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْمَنَعُوهُ

Artinya “ Kalau kalian mau mengambil seutas tali kemudian menggunakannya untuk mengikat kayu bakar, menggendongnya di atas punggungnya kemudian menjualnya agar Allah menyelamatkan kehormatan dirinya adalah lebih baik dari pada dia meminta-minta kepada orang lain, yang ada kalanya dia diberi atau tidak”.(HR. Bukhari-Muslim).
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa bekerja adalah aktivitas yang sangat mulia. Dengan bekerja, kita menjaga kehormatan dan kemuliaan diri. Dengan bekerja kita bias memenuhi kebutuhan kita sehari-hari tanpa harus mengorbankan harga diri dengan meminta-minta terhadap orang lain.   

B.      Rumusan masalah
Dalam makalah ini akan membahas tentang:
1.      Bagaimanakah pekerjaan yang paling baik?
2.      Bagaimanakah pendapat tentang larangan meminta minta?
3.      Bagaimanakah mukmin yang kuat mendapat pujian?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pekerjaan Yang Paling Baik

(Dari Rifa’ah bin Rafi’I berkata bahwa nabi Saw. ditanya, “Apa mata pencaharian yang paling baik?” Nabi menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang bersih.” (Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim).[1]

                        Penjelasan Hadis ini mengajarkan pada umat manusia agar senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seseorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa mengharapkan rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan  kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan Allah dan tidak mau berdoa kepada-Nya. Usaha yang paling baik adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri atau usaha yang menekankan kemandirian dan perdagangan.
        Banyak ayat Al-qur’an yang menyuruh manusia untuk bekerja dan memanfaatkan berbagai hal yang ada di dunia untuk bekal hidup dan mencari perhidupan di dunia.
Setiap kaum muslimin yang ingin mencapai  kemajuan hendaknya harus bekerja keras. 
          Telah menjadi sunatullah di dunia bahwa  kemakmuran akan dicapai oleh mereka yang bekerja keras dan memanfaatkan segala potensinya untuk mencapai keinginannya. Sesungguhnya, Allah telah menyediakan rezeki dan karunia yang luas bagi manusia.
‘Athiyah Muhammad Salim mengisyaratkan bahwa hadist diatas merupakan sumber motivasi bagi umat islam untuk melakukan kerja keras. Hal itu direfresentasikan oleh kata al kasb yang ditemukan di dalam hadist. Sebaian ulama mengatakan  bahwa  al kasb mencakup seluruh aktivitas kerja. Semuanya dapat dikembalikan kepada tiaga pokok yaitu: pertanian (peternakan), perdagangan, dan keterampilan.
           

 (Sebaian ulama berpendapat bahwa seluruh usaha dapat dikembalikan kepada pertanian, prdagangan, dan keterampilan. Artinya, tiga usaha ini merupakan media pertumbuhan ekonomi).[2]
Dalam ajaran islam, pemeluknya diajarkan agar giat berusaha mencari rezeki untuk kebutuhan nafkah hidupnya dan keluarganya. Siapapun tidak dibenarkan untuk berpangku tangan, hanya berdoa dan menafikan ikhtiar mencari nafkah. Bahkan Allah menegaskan dalam ayatnya, bahwa setiap orang orang yang menafkahkan hartanya akan mendapatkan balsan dari Allah SWT. Manusia hanya dituntut oleh Allah untuk mencari dan berusaha terahadap rezeki yang disediakan. Ikhtiar adalah suatu kewajiban, dan tanpa ikhtiar manusia tidak akan dapat meraih nikmat Allah lebih banyak dan rezeki yang sudah ia terima.
Ketika manusia bekerja dan mengakibatkan kelelahan, maka kelelahan itu sendiri merupakan sisi lain keuntungan bagi dirinya sendiri.
            Karena Nabi saw bersabda:

(Dari Ibn Abbas, ia berkata,” Aku pernah mendengar Rasulullah saw.bersabda, “Siapa yang merasa letih di malam hari karena bekerja maka dimalam itu dia diampuni.”).[3]
Berdasarkan hadist Nabi saw.di atas dapat dipahami bahwa usaha yang paling baik adalah bekerja dengan tangan dan berdagang dengan baik dan benar. Hadist ini selain menegaskan keniscayaan berusaha, juga menunjukkan pekerjaan yang baik, yaitu wiraswasta yang diasosiasikan dengan tangan dan perdagangan yang diasosiasikan an jual beli yang baik. Menciptakan lapangan kerja merupakan sisi lain dari ibadah kepada Allah. Sebab, disan ia banyak membantu para hamba Allah untuk mendapatkan pekerjaan yang penghasilan guna membutuhi kebutuhannya dan keluarganya.
Berusaha bukanla tujuan akhir dari kehidupan manusia. Demikin juga keuntungan yang akan diperolehbukan satu satunya yang dituju. Dalam konsep islam berusaha merupakan perintah Allah untuk mendapatkan kehidupan yang layak dalam memenuhi hajat hidupnya. Di samping itu juga untuk mencari keridhaan Allah SWT. Oleh sebab itu, usaha yang ditempuh haruslah sesuai dengan ketentuan halal dan haramnya yang  sudah ditetapkan oleh Allah SWT.[4]
Ketika seseorang sudah mendapatkan keuntungan dari usahanya, maka keniscayaan yang lain yang harus dilakukannya adalah tetap bersyukur kepada Allah atas hasil yang diterimanya, baik sedikit maupun banyak. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam surah al a’raf ayat 10:

Artinya: ”(Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagi mu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.)”.
           
B.     Larangan Meminta Minta
Artinya:
            (ibnu Umar r.a. berkata “Ketika Nabi SAW. Berkhutbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, beliau bersabda, “Tangan yang diatas lebih baik daripada tngan yang dibawah, tangan yang diatas memberi dan tangan yang dibawah meminta.“).[5]
(Hakim bin hazim berkata “Nabi SAW bersabda, “Tangan yang diatas lebih baik daripada tangan yng dibawah, dan dahulukan keluargamu (orang-orang yang wajib kamu beri belanja), dan sebaik-baiknya sedakah itu dari kekayaan (yang berlebihan), dan siapa yang menjaga kehormatan diri (tidak minta-minta), maka Allah akan mencukupinya, demikian pula siapa yang beriman merasa sudah cukup, maka Allah akan membantu memberinya kekayaan.” (Dikeluarkan oleh imam Bukhari dalam “Kitb Zakat” bab “Tidak ada zakat kecuali dari orang yang kaya)[6]



 (“Abu hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda Jika seseorang itu pergi mencari kayu lalu diangkat seikat kayu diatas punggungnya (yakni untuk dijual di pasar), maka itu lebih baik daripada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak.” (Dikeluarkan oleh imam Bukhari dalam kitab,”Jual Beli Buyu” bab “Kasab seseorang laki-laki dan bekerja dengan tangannya sendiri.”)[7]
            Penjelasan:
                                    Islam sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan memiliki badan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain. Misalnya dengan cara meminta- minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan sifat umat islam yang mulia dan memiliki kekuatan. Sebaimana dinyatakan dalam firman (Q.S. munafiqun :8)

(Kekuatan itu bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi kaum mukminin”. (Q.S.munafiqun: 8).
Artinya, mereka yang meminta-minta ini tidak hanya merendahkan dirinya tapi juga mereka telah merendahkan agama islam yang melarang perbuatan tersebut. Bahkan ia dapat dikategorikan sebagai kufur nikmat, karena tidak menggunakan tangan dan anggota badannya untuk berusaha dan mencari rezeki sebagaimana di perintahkan syara’. Padahal Allah pasti akan memberikan rezeki kepada setiap makhlukNya yang berusaha.       
 Dalam ketiga hadis diatas dinyatakan secara tegas bahwa tangan diatas (pemberi) lebih baik dan tinggi derajatnya daripada tangan yang dibawah (orang yang diberi). Meskipun usaha yang kita lakukan dipandang hina oleh manusia, itu lebih baik daripada meminta-minta. Padahal harta yang diperoleh dari minta-minta itu sama dengan mengumpulkan bara api, sebagaimana sabda Rasul:

(Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “siapa yang meminta-minta untuk memperbanyak kekayaannya, ia tiada lain hanya memperbanyak bara api. Maka terserah padanya, apakah ia akan mengurangi atau memperbanyaknya”. (H.R.Muslim)[8]
Dalam hadist di atas dapat di singgung tentang etika memberikan bantuan kepada orang lain, yaitu mengutamakan keluarga terdekat, kerabat terdekat dan seterusnya. Dengan kata lain, tidak mengutamakan memberi kepada orang lain sementara diri dan keluarganya kelaparan. Dengan demikian, maka tidak boleh terlalu kikir ataupun terllu berlebihan dalam memberikan sesuatu kepada orang lain.
Bagi orang yang selalu membantu orang lain, akan mendapatkan pahala kelak diakhirat, dan Allah juga akan mencukupkan rezekinya di dunia. Dengan demikin, pada hakikatnya dia telah memberikan rezekinya untuk kebahagiaan dirinya dan keluarganya. Karena Allah SWT akan memberikan balasan yang berlipat dari bantuan yang ia berikan kepada orang lain.
Orang yang tidak meminta minta dan menggantungkan hidupnya dengan orang lain meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan Allah SWT. Dan Allah akan memuliakannya dan mencukupinya. Orang islam harus berusaha memanfaatkan karunia yang diberikan oleh Allah  yang berupa kekuatan dan kemampuan dirinya untuk mencukupi hidupnya disertai doa kepada Allah.
Adanya kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti bahwa Alla SWT.tidak berkuasa untuk mendatangkan rezeki  begitu saja kepada manusia, tetapi dimaksudkan agar manusia menghargai dirinya sendiri dan usahanya. Sekaligus agar tidak berlaku semena mena atau melampaui batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaqiq Ibraim)[9] dalam menafsirkan ayat.

Artinya:
“( Seandainya Allah melapangkan rezeki kepada hambaNya pasti mereka melampaui batas (bejat moral), tetapi Allah  memberinya menurut sekehendakNya secara detail dan mengawasinya.)”
Artinya, seandainya Alla SWT memberikan rezeki kepada manusia yang tidak mau berusaha, pasti manusia semakin rusak dan memiliki banyak peluang untuk berbuat kejahatan. Akan tetapi, dia  Mahabijaksana dan memerintahkan manusia untuk berusaha agar manusia tidak banyak berbuat kerusakan.

C.    Mukmin Yang Kuat Mendapat Pujian
Artinya :”( Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebah baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah dan dalam segala sesuatu ia dipandang lebih baik. Raihlah apa yang memberikan manfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah. janganlah lemah! Kalau engkau tertimpa sesuatu, janganlah berkata, ‘kalau aku berbuat begini, pasti begini dan begitu tetapi katakanlah “Allah SWT telah menentukan dan Allah menghendaki aku untuk berbuat karena kata “kalau” akan mendorong pada perbuatan setan.)” (H.R.Muslim)[10]
            Penjelasan :
Hadist di atas mengandung tiga perinta dan dua larangan yaitu:
1.      Memperkuat iman
Keimanan seseorang akan membawa kepada kemuliaan baginya, baik di dunia maupun diakhirat. Kalau keimanannya kuat dan selalu diikuti dengan melakukan amal saleh, ia akan mendapatkan manisnya iman. Sebagimana firman Alla SWT (Q.S. An Nal:97).

Artinya:
“ Barang siapa yang mengajarkan amalan saleh, baik laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.”
Setiap orang mempunyai tingkat keimanan yang berbeda-beda. Ada yang kuat imannya dan ada yang lemah. Orang yang kuat imannya akan selalu mengisi keimanannya dengan amal shaleh, seperti memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, memberi sedekah dan lainnya, sehingga akan memberikan kemuliaan bagi dirinya.[11]
 Sedangkan orang yang lemah imannya ia tidak mau mengerjakan kewajibannya sebagai orang yang beriman. Kuat tidaknya iman seseorang,tidak hanya dapat dilihat dari tingkah lakunya, tapi juga dapat dipahami dalam realitas kehidupan. Misalnya dari segi kekuatan badan, tidak loyo, tegar, dll. Orang yang kuat jasmaninya, akan siap untuk beribadah dan berjuang untuk membela agama Allah SWT.Maka dari itu kita harus selalu menjaga keimanan kita dan mnghiasinya dengan sesuatu yang positif.

2.      Perintah untuk memanfaatkan waktu
Manfaatkanlah waktu sebaik mungkin dan seefektif mungkin untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Karena Rasulullah SAW menginginkan umatnya mendapatkan kebagiaan didunia maupun diakhirat. Dalam realita kehidupan, banyak orang yang sukses dan berhasil karena mereka benar-benar memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Pepatah arab mengatakan:

“(waktu itu bagaikan pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya (menggunakannya untuk memotong), ia akan memotongmu (menggilaskanmu).”

3.      Memohon pertolongan Allah SWT
Setiap perbuatan yang kita lakukan harus dibarengi dengan doa, karena ikhtiar saja tidak cukup. Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan tnpa pertolongan Allah. Maka dari itu, perbanyaklah doa agar Allah selalu menolong apa yang kita lakukan. Dalam shalat perbanyaklah membaca:
(Hanya kepada-Mu aku beribadah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan.” (Q.S.Al Fatihah: 5)
Orang yang tidak pernah memohon pertolongan kepada Allah, ia dianggap sombong dan keimanannya masih dipertanyakan.

4.      Larangan membiarkan kelemahan
Setiap orang harus berusaha untuk mengubah segala kelemahan yang ada pada dirinya karena Allah SWT tidak akan mengubahnya kalau orang tersebut  tidak berusaha mengubahnya. Fiman Allah: (Q.S.Ar Ra’du: 11)


 “(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaannya.)”

5.      Larangan untuk menyatakan “kalau” (seandainya begini dan begitu pasti hasilnya begini)
Dalam alam berusaha, kita tidak dapat memastikan selamanya akan berhasil, pasti akan ada kegagalan. Pernyataan “kalau begini dan begitu” merupakan godaan setan untuk mendahului kehendak Allah SWT bahwa suatu usaha akan berhasil jika Allah tidak menghendakinya.[12]



BAB III
KESIMPULAN

Dari dalil hadis dan ayat al-Qur’an di atas dapat difahami bahwa etos kerja dalam islam adalah sangat penting karena hal tersebut merupakan ajaran islam. Orang yang tidak memiliki semangat bekerja sebenarnya manusia yang demikian adalah manusia yang dikategorikan belum sempurna keislamannya, imannya serta tanggung jawabnya dimuka bumi ini.
 Adapun hadist mengenai etos kerja diantaranya: Hadist mengenai pekerjaan yang paling baik, larangan meminta-minta. Adapun pekerjaan yang paling baik adalah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan berdagang ataupun berjualan yang bersih. Adapun pekerjaan yang kurang disukai Allah SWT ataupun dilarang adalah meminta-minta atau mengemis.



DAFTAR PUSTAKA

Bahreis , Hussein, Hadits Shahih Bukhari-Muslim, Surabaya: Karya Utama.
Abdul Hamid. 2015. Hadis Seputar Islam dan Tata Kehidupan. Bandung : Cita Pustaka Media.
Rachmat Syafe’i. 2010. Al Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum. Bandung : Pustaka Setia.
Ibn Hajar al asqalani. Fath al Bari, Juz I.( Beirut , Libanon, Dar al Fikr,tt).
Mun’im , Abdul. 2009. Akhlak Rasul menurut Bukhori dalam Muslim. Jakarta: Gema Insani.
Tholhah , Muhammad. 2005. Islam dan Masalah Sumber daya Manusia, Jakarta; Lantabora Press.


[1] . Abdul Hamid, Hadis Seputar Islam dan Tata Kehidupan,( Bandung: Citapustaka), 2010. Hlm.114
[2]  ‘Athiyah Muammad Salim, Syarh Bulugh al Marram, (al Maktabah asy Syamilah, tt), juz III, h. 166
[3]  Al haitsami, Majma’ az Zawa’id, (al Maktabah asy Syamilah, tt.), Juz IV, h. 75
[4]  Ramli Abdul Wahid, h. 130.
[5]  Rachmad Syafe’i, Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.118-121
[6]  Rachmad Syafe’i, Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.118-121
[7]  Rachmad Syafe’i, Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.118-121
[8]  Rachmad Syafe’i, Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.123-124
[9] . Al faqi, Op. Cit, hal.450
[10]  Rachmad Syafe’i, Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.125-126
[11] . an Nawawi, Juz IX, h . 19.
[12] . Ibn hajar, Fath, Juz XX, h. 283.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar