BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
“Etos”
berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang artinya “watak atau karakter”. Etos
kerja dapat di artikan sebagai sikap dan semangat yang ada pada diri individu
atau kelompok tentang atau terhadap kerja. Etos kerja menyangkut masalah
mentalis orangg, kelompok atau bangsa. Dalam kajian ilmu managemen modern, etos
kerja ini menyangkut masalah “sikap” dan “motivasi” disamping lingkungan. Dari
kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian nilai-nilai
atau akhlak yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos kerja
tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan
sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas
kerja yang sesempurna mungkin.
Rosulullah saw. bersabda :
لَاْنْ يَاْخُذَأَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأ تِيَ
بِحُزْمَةِ اْلحَطَبِ عَلَىَ ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكَفَّ اللهُ بِهَا
وَخْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ
النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْمَنَعُوهُ
Artinya “ Kalau kalian mau mengambil seutas tali kemudian menggunakannya
untuk mengikat kayu bakar, menggendongnya di atas punggungnya kemudian
menjualnya agar Allah menyelamatkan kehormatan dirinya adalah lebih baik dari
pada dia meminta-minta kepada orang lain, yang ada kalanya dia diberi atau
tidak”.(HR. Bukhari-Muslim).
Dari
keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa bekerja adalah
aktivitas yang sangat mulia. Dengan bekerja, kita menjaga kehormatan dan
kemuliaan diri. Dengan bekerja kita bias memenuhi kebutuhan kita sehari-hari
tanpa harus mengorbankan harga diri dengan meminta-minta terhadap orang lain.
B. Rumusan
masalah
Dalam makalah ini akan membahas tentang:
1.
Bagaimanakah pekerjaan
yang paling baik?
2.
Bagaimanakah pendapat
tentang larangan meminta
minta?
3. Bagaimanakah mukmin
yang kuat
mendapat pujian?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pekerjaan Yang Paling Baik
(Dari Rifa’ah
bin Rafi’I berkata bahwa nabi Saw. ditanya, “Apa mata pencaharian yang paling
baik?” Nabi menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual
beli yang bersih.” (Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim).[1]
Penjelasan
Hadis ini mengajarkan pada umat manusia agar senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tidak
dibenarkan seseorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa mengharapkan rezeki datang dari langit tanpa
mengiringinya dengan usaha. Namun demikian tidak dibenarkan pula terlalu
mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan Allah dan tidak
mau berdoa kepada-Nya. Usaha yang paling baik adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri atau usaha yang menekankan kemandirian dan
perdagangan.
Banyak ayat Al-qur’an yang menyuruh manusia
untuk bekerja dan memanfaatkan berbagai hal yang ada di dunia untuk bekal hidup
dan mencari perhidupan di dunia.
Setiap kaum muslimin yang ingin mencapai kemajuan
hendaknya harus bekerja keras.
Telah menjadi sunatullah di dunia bahwa kemakmuran
akan dicapai oleh mereka yang bekerja keras dan memanfaatkan segala potensinya
untuk mencapai keinginannya. Sesungguhnya, Allah telah menyediakan rezeki dan karunia yang luas bagi manusia.
‘Athiyah Muhammad Salim mengisyaratkan bahwa hadist diatas merupakan
sumber motivasi bagi umat islam untuk melakukan
kerja keras. Hal itu direfresentasikan oleh kata al kasb yang ditemukan di dalam hadist. Sebaian
ulama mengatakan bahwa al kasb mencakup seluruh aktivitas kerja.
Semuanya dapat dikembalikan kepada tiaga pokok yaitu: pertanian (peternakan),
perdagangan, dan keterampilan.
(Sebaian ulama berpendapat bahwa seluruh usaha dapat dikembalikan
kepada pertanian, prdagangan, dan keterampilan. Artinya, tiga
usaha ini merupakan media pertumbuhan ekonomi).[2]
Dalam ajaran islam, pemeluknya diajarkan agar giat berusaha mencari
rezeki untuk kebutuhan nafkah hidupnya dan keluarganya. Siapapun tidak
dibenarkan untuk berpangku tangan, hanya berdoa dan menafikan ikhtiar
mencari nafkah. Bahkan Allah menegaskan dalam ayatnya, bahwa setiap orang orang yang menafkahkan hartanya akan
mendapatkan balsan dari Allah SWT. Manusia hanya dituntut oleh Allah untuk
mencari dan berusaha terahadap rezeki yang disediakan. Ikhtiar adalah suatu kewajiban, dan tanpa ikhtiar
manusia tidak akan dapat meraih nikmat Allah lebih banyak dan rezeki yang sudah ia terima.
Ketika manusia bekerja dan
mengakibatkan kelelahan, maka kelelahan itu
sendiri merupakan sisi lain keuntungan bagi dirinya sendiri.
Karena Nabi saw bersabda:
(Dari Ibn Abbas, ia berkata,”
Aku pernah mendengar Rasulullah saw.bersabda, “Siapa yang merasa letih di malam
hari karena bekerja maka dimalam itu dia diampuni.”).[3]
Berdasarkan hadist Nabi
saw.di atas dapat dipahami bahwa usaha yang paling baik adalah bekerja dengan tangan dan berdagang dengan baik dan benar. Hadist ini selain
menegaskan keniscayaan berusaha, juga menunjukkan pekerjaan yang baik, yaitu wiraswasta yang diasosiasikan dengan tangan dan perdagangan yang diasosiasikan an jual beli yang baik. Menciptakan lapangan kerja merupakan sisi lain dari ibadah
kepada Allah. Sebab, disan ia banyak membantu para hamba Allah untuk
mendapatkan pekerjaan yang penghasilan guna membutuhi kebutuhannya dan keluarganya.
Berusaha bukanla tujuan akhir
dari kehidupan manusia. Demikin juga keuntungan yang akan diperolehbukan satu satunya yang dituju. Dalam konsep islam berusaha
merupakan perintah Allah untuk mendapatkan kehidupan yang layak dalam memenuhi hajat hidupnya. Di
samping itu juga untuk mencari keridhaan Allah SWT. Oleh sebab itu, usaha yang
ditempuh haruslah sesuai dengan ketentuan halal dan haramnya yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT.[4]
Ketika seseorang sudah
mendapatkan keuntungan dari usahanya, maka keniscayaan yang lain yang harus
dilakukannya adalah tetap bersyukur kepada Allah atas hasil yang diterimanya,
baik sedikit maupun banyak. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam surah al
a’raf ayat 10:
Artinya: ”(Sesungguhnya kami
telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagi mu di muka
bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.)”.
B.
Larangan Meminta Minta
Artinya:
“(ibnu Umar r.a. berkata “Ketika Nabi SAW. Berkhutbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, beliau bersabda, “Tangan yang diatas lebih baik daripada tngan yang dibawah, tangan yang diatas memberi dan tangan yang dibawah meminta.“).[5]
“(ibnu Umar r.a. berkata “Ketika Nabi SAW. Berkhutbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, beliau bersabda, “Tangan yang diatas lebih baik daripada tngan yang dibawah, tangan yang diatas memberi dan tangan yang dibawah meminta.“).[5]
(Hakim bin hazim berkata “Nabi SAW bersabda, “Tangan yang diatas lebih baik
daripada tangan yng dibawah, dan dahulukan keluargamu (orang-orang yang wajib
kamu beri belanja), dan sebaik-baiknya sedakah itu dari kekayaan (yang
berlebihan), dan siapa yang menjaga kehormatan diri (tidak minta-minta), maka
Allah akan mencukupinya, demikian pula siapa yang beriman merasa sudah cukup,
maka Allah akan membantu memberinya kekayaan.” (Dikeluarkan oleh imam Bukhari
dalam “Kitb Zakat” bab “Tidak ada zakat kecuali dari orang yang kaya)[6]
(“Abu hurairah r.a. berkata:
Rasulullah SAW bersabda Jika seseorang itu pergi mencari kayu lalu diangkat
seikat kayu diatas punggungnya (yakni untuk dijual di pasar), maka itu lebih
baik daripada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak.” (Dikeluarkan oleh imam Bukhari dalam kitab,”Jual
Beli Buyu” bab “Kasab seseorang laki-laki dan bekerja dengan tangannya
sendiri.”)[7]
Penjelasan:
Islam sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan memiliki badan yang sehat, tetapi tidak mau
berusaha, melainkan hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain. Misalnya
dengan cara meminta- minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan
sifat umat islam yang mulia dan memiliki kekuatan. Sebaimana dinyatakan dalam
firman (Q.S. munafiqun :8)
“(Kekuatan itu bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi kaum
mukminin”. (Q.S.munafiqun: 8).
Artinya, mereka yang meminta-minta ini tidak hanya
merendahkan dirinya tapi juga mereka telah merendahkan agama islam yang
melarang perbuatan tersebut. Bahkan ia dapat dikategorikan sebagai
kufur nikmat, karena tidak menggunakan tangan dan anggota badannya untuk berusaha
dan mencari rezeki sebagaimana di perintahkan syara’. Padahal Allah pasti akan
memberikan rezeki kepada setiap makhlukNya yang berusaha.
Dalam ketiga hadis diatas dinyatakan secara tegas bahwa tangan
diatas (pemberi) lebih baik dan tinggi derajatnya daripada tangan yang dibawah
(orang yang diberi). Meskipun usaha yang kita lakukan dipandang hina oleh
manusia, itu lebih baik daripada meminta-minta. Padahal harta yang diperoleh
dari minta-minta itu sama dengan mengumpulkan bara api, sebagaimana sabda Rasul:
“(Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “siapa
yang meminta-minta untuk memperbanyak kekayaannya, ia tiada lain hanya
memperbanyak bara api. Maka terserah padanya, apakah ia akan mengurangi atau
memperbanyaknya”. (H.R.Muslim)[8]
Dalam hadist di atas dapat di singgung tentang etika memberikan bantuan kepada orang lain, yaitu mengutamakan keluarga terdekat, kerabat terdekat dan seterusnya.
Dengan kata lain, tidak mengutamakan memberi kepada orang lain sementara diri dan keluarganya kelaparan. Dengan demikian, maka tidak boleh terlalu kikir ataupun terllu berlebihan dalam memberikan sesuatu kepada orang lain.
Bagi orang yang selalu membantu orang lain, akan mendapatkan pahala kelak diakhirat, dan Allah juga akan mencukupkan rezekinya di dunia. Dengan demikin, pada hakikatnya dia telah memberikan rezekinya untuk kebahagiaan dirinya dan keluarganya. Karena Allah SWT akan memberikan balasan yang berlipat dari bantuan yang ia berikan kepada orang lain.
Orang yang tidak meminta minta dan menggantungkan hidupnya dengan orang lain meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan Allah SWT. Dan Allah akan memuliakannya dan
mencukupinya. Orang islam harus berusaha memanfaatkan karunia yang diberikan
oleh Allah yang berupa kekuatan dan
kemampuan dirinya untuk mencukupi hidupnya disertai doa kepada Allah.
Adanya kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti bahwa
Alla SWT.tidak berkuasa untuk mendatangkan rezeki begitu saja kepada manusia, tetapi
dimaksudkan agar manusia menghargai dirinya sendiri dan usahanya. Sekaligus agar tidak berlaku semena mena atau melampaui batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaqiq Ibraim)[9]
dalam menafsirkan ayat.
Artinya:
“( Seandainya Allah melapangkan rezeki kepada hambaNya pasti mereka melampaui batas (bejat moral), tetapi Allah memberinya menurut sekehendakNya secara detail dan mengawasinya.)”
Artinya, seandainya Alla SWT memberikan rezeki kepada
manusia yang tidak mau berusaha, pasti manusia semakin rusak dan memiliki banyak peluang untuk berbuat kejahatan. Akan tetapi, dia Mahabijaksana dan memerintahkan manusia untuk berusaha agar manusia tidak banyak berbuat kerusakan.
C.
Mukmin Yang Kuat Mendapat Pujian
Artinya :”( Abu Hurairah r.a.
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebah baik dan
lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah dan dalam segala sesuatu ia
dipandang lebih baik. Raihlah
apa yang memberikan manfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah. janganlah
lemah! Kalau engkau tertimpa sesuatu, janganlah berkata, ‘kalau aku berbuat
begini, pasti begini dan begitu tetapi katakanlah “Allah SWT telah menentukan
dan Allah menghendaki aku untuk berbuat karena kata “kalau” akan mendorong pada
perbuatan setan.)”
(H.R.Muslim)[10]
Penjelasan
:
Hadist di atas mengandung tiga perinta dan dua larangan yaitu:
1.
Memperkuat iman
Keimanan seseorang akan membawa kepada kemuliaan baginya, baik di dunia maupun diakhirat. Kalau keimanannya kuat dan selalu
diikuti dengan melakukan amal saleh, ia akan mendapatkan manisnya iman. Sebagimana firman Alla SWT (Q.S. An
Nal:97).
Artinya:
“ Barang siapa yang mengajarkan amalan saleh, baik laki laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik, dan sesungguhnya Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.”
Setiap
orang mempunyai tingkat keimanan yang berbeda-beda. Ada yang kuat imannya dan
ada yang lemah. Orang yang kuat imannya akan selalu mengisi keimanannya dengan
amal shaleh, seperti memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, memberi sedekah dan lainnya, sehingga akan memberikan kemuliaan bagi dirinya.[11]
Sedangkan orang yang lemah imannya ia tidak
mau mengerjakan kewajibannya sebagai orang yang beriman. Kuat tidaknya iman
seseorang,tidak hanya dapat dilihat dari tingkah lakunya, tapi juga dapat dipahami
dalam realitas kehidupan. Misalnya dari segi kekuatan badan, tidak loyo, tegar,
dll. Orang yang kuat jasmaninya, akan siap untuk beribadah dan berjuang untuk
membela agama Allah SWT.Maka dari itu kita harus selalu menjaga keimanan kita
dan mnghiasinya dengan sesuatu yang positif.
2.
Perintah untuk memanfaatkan waktu
Manfaatkanlah waktu sebaik
mungkin dan seefektif mungkin untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik
untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Karena Rasulullah SAW menginginkan umatnya mendapatkan
kebagiaan didunia maupun diakhirat. Dalam realita kehidupan, banyak orang yang
sukses dan berhasil karena mereka benar-benar memanfaatkan waktunya sebaik
mungkin. Pepatah arab mengatakan:
“(waktu itu bagaikan pedang,
jika kamu tidak memanfaatkannya (menggunakannya untuk memotong), ia akan
memotongmu (menggilaskanmu).”
3. Memohon pertolongan Allah SWT
Setiap perbuatan yang kita lakukan harus dibarengi
dengan doa, karena ikhtiar saja tidak cukup. Seseorang tidak akan mencapai
kesuksesan tnpa pertolongan Allah. Maka dari itu, perbanyaklah doa agar Allah
selalu menolong apa yang kita lakukan. Dalam shalat perbanyaklah membaca:
“(Hanya kepada-Mu aku beribadah dan hanya kepada-Mu aku memohon
pertolongan.” (Q.S.Al Fatihah: 5)
Orang yang tidak pernah memohon pertolongan kepada
Allah, ia dianggap sombong dan keimanannya masih dipertanyakan.
4. Larangan membiarkan kelemahan
Setiap orang
harus berusaha untuk mengubah segala kelemahan yang ada pada dirinya karena
Allah SWT tidak akan mengubahnya kalau orang tersebut tidak berusaha mengubahnya. Fiman Allah:
(Q.S.Ar Ra’du: 11)
“(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaannya.)”
5. Larangan
untuk menyatakan “kalau” (seandainya begini
dan begitu pasti hasilnya
begini)
Dalam alam berusaha, kita tidak dapat memastikan
selamanya akan berhasil, pasti akan ada kegagalan. Pernyataan “kalau begini dan
begitu” merupakan godaan setan untuk mendahului kehendak Allah SWT bahwa suatu
usaha akan berhasil jika Allah tidak menghendakinya.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Dari dalil hadis dan ayat al-Qur’an di atas dapat
difahami bahwa etos kerja dalam islam adalah sangat penting karena hal tersebut
merupakan ajaran islam. Orang yang tidak memiliki semangat bekerja sebenarnya
manusia yang demikian adalah manusia yang dikategorikan belum sempurna
keislamannya, imannya serta tanggung jawabnya dimuka bumi ini.
Adapun hadist mengenai etos kerja diantaranya:
Hadist mengenai pekerjaan yang paling baik, larangan meminta-minta. Adapun
pekerjaan yang paling baik adalah seseorang yang bekerja dengan tangannya
sendiri dan berdagang ataupun berjualan yang bersih. Adapun pekerjaan yang
kurang disukai Allah SWT ataupun dilarang adalah meminta-minta atau mengemis.
DAFTAR PUSTAKA
Bahreis , Hussein, Hadits Shahih Bukhari-Muslim, Surabaya: Karya
Utama.
Abdul Hamid.
2015. Hadis
Seputar Islam dan Tata Kehidupan. Bandung : Cita Pustaka Media.
Rachmat
Syafe’i. 2010. Al Hadis Aqidah, Akhlaq,
Sosial dan Hukum. Bandung : Pustaka Setia.
Ibn Hajar al
asqalani. Fath al Bari, Juz I.( Beirut ,
Libanon, Dar al Fikr,tt).
Mun’im , Abdul. 2009. Akhlak
Rasul menurut Bukhori dalam Muslim. Jakarta: Gema Insani.
Tholhah , Muhammad. 2005. Islam dan Masalah Sumber daya
Manusia,
Jakarta; Lantabora Press.
[1] . Abdul Hamid, Hadis Seputar Islam dan Tata Kehidupan,(
Bandung: Citapustaka), 2010. Hlm.114
[5] Rachmad
Syafe’i, Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan
Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.118-121
[6] Rachmad
Syafe’i, Al-Hadis
Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.118-121
[7] Rachmad
Syafe’i, Al-Hadis
Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.118-121
[8] Rachmad
Syafe’i, Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan
Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.123-124
[10] Rachmad
Syafe’i, Al-Hadis
Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum,( Bandung: Pustaka Setia), 2000. Hlm.125-126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar